Seorang Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah menyampaikan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya telah membawa perubahan signifikan dalam kewenangan daerah terkait penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dalam dialog yang berlangsung di sebuah universitas di Samarinda, dibahas berbagai tantangan dalam menyesuaikan RTRW dengan kebijakan nasional, termasuk ketidaksesuaian regulasi, tumpang tindih aturan, serta minimnya sosialisasi kepada pemerintah daerah. Selain itu, penarikan kewenangan perizinan berusaha ke tingkat pusat juga dianggap dapat mengurangi peran daerah dalam pengelolaan tata ruang dan menghadapi dampak alih fungsi lahan untuk investasi.
Dalam kesempatan tersebut, peserta dialog mendorong percepatan penyusunan pedoman teknis serta regulasi pendukung agar daerah dapat menyesuaikan RTRW sesuai dengan aturan pusat. Ditekankan pula pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan harmonisasi kebijakan tata ruang.
Perlindungan terhadap kearifan lokal dan masyarakat adat juga menjadi salah satu perhatian utama dalam implementasi kebijakan ini. Para pakar tata ruang yang hadir dalam diskusi menyatakan bahwa penyesuaian RTRW harus tetap memperhatikan hak-hak masyarakat adat serta mengakomodasi kebutuhan pembangunan daerah tanpa mengabaikan aspek lingkungan.
Beberapa peserta juga mengangkat permasalahan terkait konflik tata ruang yang terjadi antara sektor perkebunan, pertambangan, dan kawasan hutan. Dalam pembahasan, ditekankan bahwa proses penyusunan RTRW harus melalui pendekatan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat, guna memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan kondisi di lapangan.
Dalam diskusi tersebut juga dibahas mengenai pentingnya sistem perizinan yang lebih transparan serta integrasi kebijakan tata ruang yang lebih baik agar dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.